- Pada scene Asye memakaikan kerudung ke Marion, pemeran Asye diberi wig kulit kepala supaya terlihat botak. Tapi saat di close-up, di dahi Asye ada lipatan wig yang kurang rapi sehingga kelihatan sekali itu makeup.
- Penyebutan nama Asye, Stefan dan Marion yang berubah-ubah. Kadang Asye, kadang Asya. Kadang Marion, kadang Mariong (pronounciation Perancis). Sedangkan Stefan yang (sepertinya) orang Jerman, harusnya namanya tetap dibaca [Stefan], tapi malah dilafalkan [Stefen]. Mana yang benar?
- Script film 99 Cahaya secara keseluruhan yang menurut saya ditulis oleh penulis buku, bukan scriptwriter film (saya belum check siapa yang menulis). Bahasanya indah, tapi sangat kaku, tidak luwes seperti sedang baca buku. Apalagi karena banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang memang sangat berbeda antara written dan spoken language.
- Pemilihan pemeran yang (ceritanya) berasal dari latar belakang kebangsaan yang berbeda-beda, tapi ngobrolnya fulllll bahasa Indonesia demi memudahkan penonton memahami dialog. (Dewi Sandra orang Perancis, Alex Abbad orang India, Fatma orang Turki, Nino Fernandez orang Austria).
- Scene ketika Stefan dan Khan bertengkar di perpustakaan dan semua orang tetep santai aja, tidak terganggu sama sekali. Dude, it's a friggin' library. In Europe! Mungkin karena sutradaranya orang Indonesia jadi ribut-ribut di perpustakaan dianggap biasa saja.
- Saya ketawa ngakak pada scene Rangga ber-adzan di Menara Eiffel. Perancis adalah negara yang menjunjung tinggi sekularitas untuk mencegah diskriminasi antar golongan. Jangankan ber-adzan, pakai kalung salib saja bisa kena tilang polisi. Ber-adzan di atas Menara Eiffel bisa dianggap perbuatan yang tidak sopan, melanggar hukum, dan meresahkan masyarakat. Kalau dalam kehidupan nyata mungkin ceritanya Rangga sudah diringkus polisi.
- Is there any living-straight-husband in this world that calls his wife 'say' ?
- Kemunculan Fatin di ending film itu sangat-sangat-sangat mengganggu dan tidak relevan sama sekali dengan cerita.
- Potongan-potongan adegan di dalam trailer itu ternyata tidak semuanya ada di film 99 Cahaya PART 1, karena ternyata nanti akan ada PART 2-nya dan mungkin malah PART 3. Setahu saya, apa yang ditampilkan di trailer, itulah yang seharusnya dinikmati oleh penonton film yang bersangkutan. Adegan di part berikutnya, taruh di trailer film part berikutnya juga dong.
Ruangbacatulis
Saturday, December 7, 2013
99 Lubang di film 99 Cahaya Di Langit Eropa
Monday, April 15, 2013
Bali Motorcycle Diaries
Danau Beratan Photo by : Gigih RC |
Selepas Gitgit, kami melewati 2 atau 3 papan nama yang juga bertuliskan Gitgit Waterfall. Tidak perlu khawatir karena semua itu bersumber dari satu mata air, yang membedakan hanya view dan letak ketinggiannya. Yang Anda temui pertama dari arah Bedugul adalah yang tertinggi. Disambut hujan angin dan kabut, jas hujan kami tidak terlalu berfungsi. Namun betapa sayangnya kalau harus putar balik hanya karena hujan. Jalan teruuus!
Kami sampai di pantai Lovina jam setengah 3 sore. Hujan sudah berhenti. Sungguh kami kecewa karena ternyata Lovina hanyalah pantai sepi yang super kotor. Beberapa orang menawarkan wisata lumba-lumba di tengah laut seharga 60.000 rupiah per orang, tapi saya ragu karena setahu saya waktu yang tepat untuk dolphin tour adalah subuh-subuh, jelas bukan ashar-ashar. Setelah 20 menit meregangkan tulang punggung yang pegal di dermaga Lovina, kami memutuskan untuk pulang. Lewat mana?
Tulamben.
Iya, itu berarti kami mengambil rute memutar yang sama dengan 2 kali jarak rute pulang lewat Bedugul. Tapi namanya juga road trip. Nggak seru kan kalau rute pulang sama dengan rute berangkat. :D
Ketika melewati pusat kota Singaraja, saya cukup amazed karena ternyata kota ini tidak jauh berbeda dengan Mojokerto atau Solo. Cukup modern (ada Singaraja plaza, ada Carrefour), tertata rapi, dan gaya arsitekturnya lebih 'njawani', tidak banyak yang bergaya Bali. Setidaknya itulah kesan kami ketika melintasi downtown Singaraja.
Kami ngebut ke arah Amlapura karena kejar-kejaran dengan awan hitam yang gede banget. Setelah beberapa lama melaju, ternyata ada sign Kintamani belok kanan. Pertama, saya belum pernah ke Singaraja sebelumnya, jadi masih buta jalan. Kedua, kami tidak membawa peta dan males buka GPS. Ketiga, berhubung teman saya sudah lama nggak keturutan ke Kintamani, akhirnya kami mengikuti sign itu. Batal pulang lewat Tulamben, belok kanan ke Kintamani!
yang baca posting ini pasti bete karena dari tadi itinerary-nya meleset semua dari rencana. :))
Singkat cerita, kami kalah kejar-kejaran dengan mendung, dan akhirnya kehujanan lagi. Jas hujan kembali tidak menjalankan fungsi yang semestinya. Tulang ekor mulai pegal, kami pun mulai bosan. Rute ini cenderung lurus dan menanjak. Tidak banyak yang bisa dilihat. Namun semakin tinggi, mata kembali segar karena memasuki hutan panjang yang menyerupai terowongan setengah terbuka. Hijau di mana-mana. Jurang juga di mana-mana sih. Tapi tidak securam rute Bedugul-Gitgit. Tak lama kemudian kami melihat kabut. Makin lama makin tebal. Entah kabutnya yang makin turun atau posisi kami yang semakin tinggi. Jarak pandang kami sempat cuma sekitar 3 meter. Lebih jauh dari itu tidak terlihat sama sekali, tertutup kabut tebal. Seperti anak kecil yang melihat salju untuk kali pertama (cuman ungkapan, padahal sampe umur segini juga belum pernah lihat salju), kami tak henti-hentinya berseru "wooooow" atau "wiiiiihhhhh" saking takjubnya.
Gunung Batur, Kintamani. Photo by: Gigih RC |
View Danau Batur dari Kebun Orang. Photo by: Gigih RC |
jam setengah 4 sore. Kami melipat jas hujan di Kintamani. Alarm jam makan otomatis (baca:perut) sudah kembali berbunyi. Setelah mengagumi pemandangan Gunung Batur dari pinggir jalan serta menghirup dalam-dalam udara segar, kami makan sebentar. Kemudian kembali berkelok-kelok turun ke Danau Batur. Biasanya, saya menikmati view danau dari lapangan parkir. Namun karena beberapa kali harus berurusan dengan ibu-ibu super agresif pedagang suvenir, kali ini saya memilih untuk memarkir motor di jalan kemudian masuk ke tepi danau melalui kebun orang. Eits, jangan buru-buru menyalahkan saya yang masuk ke kebun orang tanpa izin. Sebelum kami sampai situ, sudah ada dua mas-mas lain yang sedang asyik memancing di situ. Jadi kami nggak salah-salah amat, kan? :p
Awan hitam kembali mengancam. Kami bergegas karena malas pakai jas hujan lagi. Tapi apa daya. Belum juga sampai di Tegalalang, hujan sudah turun dengan derasnya. Kami cepat-cepat mengenakan jas hujan untuk ketiga kalinya. Baru 10 menit, hujan berhenti, jalanan kering. Bete, kami masukkan lagi jas hujan ke bagasi.
Pengrajin Dream Catcher, Tegalalang. Photo by: Gigih RC |
Terasiring di Tegalalang, Ubud. Photo by : Gigih RC |
Rute Perjalanan di atas Tissue Photo by: Gigih RC |
Jam tangan menunjukkan pukul 8 malam sewaktu saya tiba di rumah. Setengah hari yang cukup melelahkan, tapi sangat menyenangkan! Kapan-kapan saya pengen road trip lagi ah. Hehehe.
Saturday, January 5, 2013
Terima Raport
Lalu apakah di tahun 2012 kemarin saya sudah mengupas bab ini hingga bagian intinya? Belum tentu. Dosen saya pernah mengajarkan, Communication is an ongoing process of learning and understanding. Proses pemaknaan terjadi terus menerus, sehingga apa yang kita pahami di hari ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Terus, sampai mati. Semoga.
Enam bulan terakhir, saya memutuskan menggunakan hasil berdagang saya untuk serius mempelajari Bahasa Perancis, salah satu bahasa yang (katanya) paling sulit di dunia. Waktu itu motivasi saya hanya satu: sejak duduk di bangku SMP saya ingin bisa berbicara Bahasa Perancis karena (katanya) orang Perancis tidak mau berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Besok-besok kalau ke Perancis biar bisa ngomong sama orang Perancisnya, begitu pikir saya. Di luar dugaan, yang saya dapat bukan hanya kemampuan berbahasa, namun saya belajar untuk kembali berani bermimpi, dan kembali berani untuk konsekuen mewujudkan semua mimpi saya. Belajar bahasa Perancis, menurut saya, adalah pencapaian tertinggi saya di tahun 2012.
Seperti yang mungkin sudah anda baca di beberapa posting sebelum ini, Bali adalah melting pot, tempat puluhan kultur menyublim jadi satu dalam heterogenitas yang toleran dan guyub. Setelah semua yang saya alami di 2012, saya rasa Bali adalah landasan pacu yang ideal untuk startover dan mewujudkan kembali semua mimpi saya. Tidak ada excuse untuk menyerah kali ini. Apapun itu.
Mungkin apa yang dikatakan orang itu ada benarnya. Sekali seseorang memutuskan untuk hidup di Bali, suatu saat pasti akan kembali lagi ke Bali. Whatever it is, I simply fell in love with this island, maybe that's why.
Kemudian datanglah tahun 2013. Ternyata saya lolos dari ramalan suku Maya. Hahaha.
Selamat tahun baru, teman-teman. Semoga raport kita tahun ini lebih baik daripada tahun 2012 supaya bisa naik kelas. :)
Cafe Havana, Ubud, 05 Januari 2013.
--Gigih.
Tuesday, September 20, 2011
Marius Terbang
Postur tubuhnya yang tinggi besar sering membuat orang tidak menyangka kalau umurnya baru 16 tahun.
Marius suka sekali basket. Ketika ditawari oleh gurunya untuk serius bermain basket untuk tim SMA, Marius menyambutnya dengan sukacita.
Marius tak pernah merasakan listrik di tempat tinggalnya. Namun semangat Marius untuk belajar basket tak pernah sekalipun surut. Puluhan kilometer ditempuhnya dari pedalaman gunung untuk bersekolah. Terkadang tanpa alas kaki karena sepatunya jebol. Berkali-kali Marius harus menjahit sepatunya, karena hampir tidak mungkin rasanya menemukan sepatu basket ukuran 47 di Papua. Kalaupun ada harganya hanya membuat Marius meringis miris saking mahalnya.
Hari itu coach memberi kabar, Marius terpilih untuk berangkat ke Surabaya mengikuti camp basket untuk pelajar SMA selama sepuluh hari di Surabaya. Nantinya dari dua ratus peserta akan dipilih dua belas orang terbaik yang akan dikirim ke Seattle, Amerika Serikat. Marius senang bukan kepalang. Ke Surabaya! Ke Jawa! Bisa cari sepatu baru! begitu pikirnya.
Bersama enam wakil Papua yang lain, Marius mengikuti camp dengan tekun. Tidak seperti yang lainnya, Marius lebih banyak diam. Ketika semua campers dari Jawa makan bersama, Marius lebih memilih makan sendiri di pojok. Ketika anak-anak mengajaknya bercanda, Marius tersenyum malu-malu. Ketika yang lain menirukan logatnya yang tidak biasa, Marius juga tersenyum. Ketika beberapa yang cukup berani menyorakinya "Oi! Papua!", Marius masih saja tersenyum. Beberapa bahkan meledek namanya. Mabur dalam bahasa jawa artinya terbang. Marius Bernardus terbang. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Marius tetap tersenyum lugu bersama mereka. Memamerkan deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulitnya yang legam.
Masing-masing campers mendapatkan sepasang sepatu basket baru. Marius harus menunggu lama karena ukuran 47 cukup jarang dijual. Beberapa kali terlalu sempit. Senyum. Kurang satu nomor. Senyum. Kurang dua nomor. Kecewa, tapi tetap senyum. Terlalu longgar, masih juga Marius tersenyum sabar.
Di hari kedelapan, saya kebagian tugas membagikan sepatu untuk campers yang belum mendapat sepatu. Semua berebut. Semua ingin dapat model terbaru. Tidak mau model lama. Marius sabar berbaris menunggu giliran. Akhirnya, Ia datang dengan wajah penuh harap. Saya bukakan kotak sepatunya. Hati saya mencelos tak enak. Model lama keluaran tahun lalu. Model baru tidak ada yang ukuran 47. Marius mencoba, dan tiga detik kemudian wajah itu berseri cerah, "Kakak! Ini pas sekali, kakak! Saya suka sekali ini Kakak! Terima kasih banyak!", lalu Ia menghambur dengan wajah senang kembali ke lapangan. Saya mengawasinya dari belakang. Mata saya panas. Pandangan saya buram.
Farewell Dinner.
Hari terakhir. Hari pengumuman duabelas besar campers yang berangkat ke Amerika Serikat.
Semua anak sudah memakai sepatu barunya. Marius makan bersama pelatih dan rombongan dari Papua yang lain. Marius tidak tersenyum. Wajahnya tegang. Bagaimana tidak, hanya dia satu-satunya perwakilan Papua yang lolos hingga ke tahap seleksi terakhir ini. Yang lain sudah gugur di 100 besar dan 50 besar. Berkali-kali Marius membetulkan letak kalung salib yang melingkar di lehernya. Berharap sebuah keajaiban kecil terjadi.
Komisioner liga basket mulai memanggil nama.
Satu per satu.
Medan.
Jawa Barat.
Jawa Timur.
DKI Jakarta.
Jawa Timur lagi.
Deretan nama itu mulai menipis. Nama-nama raksasa yang nantinya menjadi kebanggaan sekolah. Kebanggaan daerah asal. Satu per satu naik ke panggung. Ada yang loncat kegirangan. Ada yang berpelukan. Marius tersenyum gugup. Ikut bertepuk tangan setiap nama berikutnya dipanggil. Sudah nama kesebelas. Bukan namanya. Marius mulai melepas harapan.
Kemudian suara itu memanggil: "Marius Bernardus Mabur, Papua!"
Seisi atrium itu meledak gegap gempita. Semua orang berhamburan memelukinya. Mengguncang-guncang bahunya. Coach tersenyum bangga. Haru. Marius bingung. Perlu beberapa detik bagi Marius untuk menyadari komisioner benar-benar menyebut namanya barusan.
AMERIKA SERIKAT.
Marius menutup mukanya. Air matanya leleh tak bisa ditahan, seperti keju dibakar. Perlahan, Ia berjalan menuju panggung. Semua orang menepuk pundaknya. Bersorak. Kilasan lampu kamera wartawan berkelap-kelip menimpa wajahnya. Marius menjadi bintang malam itu.
Namanya Marius Bernardus Mabur.
Ejekan teman-temannya menjadi kenyataan.
Marius benar-benar telah terbang.
Saturday, September 10, 2011
Infinity
Iseng-iseng bongkar file lama, nemu tugas UTS mata kuliah Penulisan Naskah film, jaman masih kuliah sekitar tahun 2009. Perkiraan durasi kalau divisualisasikan : 15 menit.
Naskah saya biarkan sesuai aslinya ketika ditulis.
Enjoy!
INFINITY
MUSIK LATAR: Alunan Grand Piano
Background hitam, muncul tulisan “Gigih Rahmatika Presents”
Denting alat makan diselingi suara beberapa orang bercakap-cakap di restoran mewah.
Background hitam CREDIT TITLE
INT. IL RISOTTO DI RISTORANTE - MALAM
Di salah satu meja duduklah seorang laki-laki berbadan tinggi dan perempuan mungil yang akan kita kenal sebagai Danu dan Kayla.
KAYLA
Makasih ya buat makan malamnya. Saya suka suasananya. Enak buat ngobrol.
DANU
Sama-sama, Kayla. Saya juga seneng bisa mampirin kamu kesini. Maaf ya, warungnya masih berantakan.
KAYLA
Ha ha ha. Kamu bisa aja kalo merendah. Iya nih, “Warung”-mu ini kurang asik soalnya nggak jual nasi uduk.
DANU
(Tersenyum)
Nasi uduk lauk Lasagna? He he he.
KAYLA
Ha ha ha. By the way, itu tato kamu bagus juga, ya.
DANU
Oh, ini? (Menunjukkan tato di balik telinga kirinya)
KAYLA
Kenapa harus angka delapan?
DANU
Ini bukan angka delapan. Ini lambang infinite. Keabadian. Bentuknya kayak obat nyamuk ya? Ha ha ha ha.
KAYLA
(Tertawa kecil) ha ha ha. Ya ampun, tahu nggak sih, Danu? Beberapa kali ketemu kamu, Saya selalu ngerasa sudah kenal kamu lamaaaa sekali. Padahal baru juga bulan lalu kita dikenalin sama Irwin.
DANU
(Mendongak melihat mata Kayla)
.....Kamu ngerasa gitu?
KAYLA (C.U)
(Menyibakkan rambut, terlihat tanda lahir di pergelangan tangan)
Iya. Silly, ya?
DANU
(Terdiam sejenak melihat tanda lahir di tangan Kayla)Enggak. Bagi saya itu nggak silly sama sekali.
KAYLA
O ya? Kenapa gitu?
DANU
....Kamu percaya reinkarnasi?
CREDIT TITLE BERAKHIR DENGAN PENYEBUTAN NAMA SUTRADARA DAN MAIN TITLE.
FADE IN TO.
EXT. RUMAH SANTI
Nampak sebuah rumah kuno yang cukup besar, dengan teras berbentuk bundar dan mobil Mercedes Benz kuno diparkir di halaman. Insert text tahun 1970. BCU sosok punggung seorang pria mengetuk pintu rumah. Di balik telinganya terdapat tato berbentuk infinity.
CUT-TO
BCU angle kamera memperlihatkan pergelangan tangan seorang wanita yang memakai gelang dan memiliki tanda lahir. Tangan itu membuka pintu rumah dari dalam
SANTI
(Membuka pintu) Ya?
ARIF
Selamat siang, mbak Santi.
SANTI
Mas Arif dari tabloid ‘Berita Hangat’? yang tadi telepon saya?
ARIF
Betul sekali mbak. Bisa saya mewawancara mbak sekarang?
SANTI
Boleh. Silahkan masuk, Mas.
ARIF
Makasih, Mbak.
Arif masuk ke rumah Santi. Ketika melintas di depannya, Santi melihat sebuah tato berbentuk Infinity di belakang telinga kiri Arif. Santi sangat terkejut karena dia ingat betul pada kehidupannya yang sebelum ini. Ia tidak menyangka kekasih abadinya tiba-tiba muncul sebagai wartawan di kehidupannya kali ini.
ARIF
Mmmm.... Ada yang salah mbak?
SANTI
(Tersadar dari lamunan) Hah? Oh enggak, maaf saya melamun.
ARIF
Maaf ya mbak. Pasti mbak Santi nggak nyaman ya lihat tato saya? Banyak kok mbak yang seperti mbak Santi gitu.
SANTI
Oh, enggak mas. Nggak sama sekali. Malah saya suka sama tato itu. Artinya keabadian kan?
ARIF
Wow. Saya kagum. Mbak Santi tau banyak juga ya?
SANTI
Panggil saya Santi aja. Nggak usah pakai Mbak.
ARIF
Oke, Santi. Bisa saya mulai interviewnya sekarang?
SANTI
Boleh.
ARIF
Oke, Santi. (Mengeluarkan Tape recorder dan notes) Jadi album yang baru anda rilis ini sebetulnya bercerita tentang apa sih?
SANTI
Album saya yang baru ini banyak bercerita tentang kehidupan dan pencarian seorang perempuan atas cintanya.
ARIF
Pencarian yang bagaimana maksud anda?
SANTI
Kamu.
ARIF
Maaf?
SANTI
Jangan panggil saya dengan sebutan ‘anda’ dong. Terlalu formal.
ARIF
Oh. Oke. Mmm.... (Salah tingkah) Pencarian yang bagaimana maksud..kamu?
SANTI
(Menyulut rokok, menghisap, dan mengepulkan asap perlahan) Saya percaya bahwa setiap orang punya yang namanya kekasih abadi. Bahwa setiap pasangan selalu dilahirkan kembali ke dunia dan akhirnya menemukan satu sama lain.
ARIF
Seperti kisah Adam dan Hawa? (sambil menulis di notes)
SANTI
Ya. Seperti cerita mereka.
ARIF
Jadi kamu percaya pada kelahiran kembali?
SANTI
(menaikkan tangan yang memegang rokok sehingga tanda lahirnya terlihat) ya. Saya percaya. Kamu percaya?
CUT TO: sekelebat potongan memori sepasang wajah lain yang memiliki tanda lahir sama.
CUT BACK: Kembali ke setting ruang tamu Santi.
ARIF
(Tersadar) Hah?! Saya...Saya nggak tau.
SANTI
Maaf. Saya terlalu serius ya? Sebentar, saya ambilkan minuman. (Berdiri mengambil minuman di dapur)
ARIF
Hahah. Nggak juga. Huff...(menghela nafas)
SANTI
(kembali duduk)Ini sirupnya. Diminum dulu.
ARIF
Makasih. (Minum) Saya tertarik sekali dengan pernyataan kamu barusan. Lalu, kalau yang kamu bilang itu bener, siapa kamu di kehidupanmu sebelum ini?
SANTI
Kadang kita sama sekali nggak bisa ingat siapa diri kita di kehidupan yang lalu. Tapi kadang itu bisa lebih jelas dari ingatan kita di masa ini.
ARIF
Jadi kamu nggak inget?
SANTI
saya inget. Di kehidupan sebelum ini, saya anak keluarga priyayi di Solo. Tahun 1930an.
ARIF
........(Diam)
SANTI
Menurutmu saya bohong nggak?
ARIF
Saya nggak tau harus percaya atau enggak. Lalu,siapa ‘kekasih’ yang kamu cari itu?
SANTI
Kalau sekarang, saya nggak tau. Saya belum menemukan dia.
ARIF
Lalu gimana cara kalian menemukan satu sama lain?
SANTI
Nggak tau kenapa, saat bereinkarnasi, kami selalu membawa tanda di tubuh kami (memperlihatkan pergelangan tangan) Pada akhirnya satu dari kami atau dua-duanya, cepat atau lambat nemuin satu sama lain.
ARIF
Itu tanda kamu? (mengedikkan kepala)
SANTI
Yap.
ARIF
Dan, tanda yang dibawa..mmm..’pacar’ kamu ini?
SANTI
(Tersenyum) biasanya tato berbentuk infinity di belakang telinga kiri.
ARIF
.....Wow. Saya juga tidak ingat bagaimana saya bisa punya tato ini(meraba tatonya)
SANTI
Ya. Itulah kenapa. Wow.
ARIF
Jadi...Mmmm (salah tingkah) apa itu..Mm...berarti..saya..?
SANTI
Entahlah. Saya juga tidak mau keburu senang dulu. Tapi, kamu percaya apa yang saya katakan barusan?
ARIF
Tentang reinkarnasi dan sebagainya itu tadi?
SANTI
(mengangguk)
ARIF
Saya...mmmm....tidak tahu. Kita baru pertama kali bertemu. Saya mengenal kamu lewat televisi dan majalah.
SANTI
(terkejut) wah! Kali ini kamu yang tidak mengingat saya! Pasti barusan saya bikin kamu ketakutan!
ARIF
Mmmm...tidak juga...(mengambil tape recorder, mematikannya) saya..sering mengalami mimpi-mimpi aneh.
SANTI
Itu memori!
ARIF
Saya nggak tahu juga.
SANTI
(Memegang tangan Arif) Kamu nggak perlu langsung percaya. Kamu cuman perlu mencari memorimu itu dulu. (Tersenyum)
ARIF
Ya...Mungkin. (ikut tersenyum)
CUT-TO: ARIF dan SANTI bersepeda, berboncengan di alun-alun kota. Santi mengenggam tangkai balon gas, tangan kanannya ditautkan di pinggang Arif.
MUSIK LATAR : lagu tahun 70an dengan irama ceria
CUT-TO: Santi menyuap es krim kepada Arif, lalu menyurukkan es krim ke mulut Arif hingga mulut Arif kotor terkena es krim. Mereka tertawa-tawa.
CUT-TO : Santi tidur bersandar di dada Arif, bercerita tentang apa yang diingatnya di kehidupan lampau.
EXT. RUMAH SANTI
Arif mengetuk rumah santi dengan antusias. Hari ini Santi berulang tahun.Ia membawa kue ulangtahun dan juga balon kesukaan Santi. Ternyata yang membukakan pintu seorang bapak-bapak.
EFFENDY
Ya? Bisa saya bantu?
ARIF
Oh. (agak kaget) Santi-nya ada, Pak?
EFFENDY
(Menilai dari atas sampai bawah) Anda siapa ya?
ARIF
Saya....saya Arif, temannya.
EFFENDY
Ada keperluan apa, kalau boleh tau?
ARIF
Saya cuman mau...Mmm...ngasih ini buat Santi, Pak.
EFFENDY
(Menerima) baik, nanti saya sampaikan.
ARIF
(Kecewa) Oh..baik. terima kasih, Pak.
Pintu ditutup di depan Arif.
EXT. KAMAR HOTEL
Asap rokok mengepul di kamar hotel. Arif dan Santi duduk berpelukan di tempat tidur.
ARIF
Sayang.
SANTI
Hmmmm?
ARIF
Papa kamu nggak suka sama saya, ya?
SANTI
Hmm. Papa cuman melakukan satu hal yang akan dilakukan oleh semua ayah kepada pacar anak gadisnya. Apalagi kamu wartawan.
ARIF
Apa yang salah dengan menjadi wartawan?
SANTI
Yang salah adalah kamu wartawan miskin di mata Papa.
ARIF
Tapi kan saya cuma berusaha untuk..
SANTI
Husssh...sudahlah, yang Papa nggak tau, kamu sama saya sudah pernah mengenal jauh sebelum Papa lahir. He he...
ARIF
Tidak. Saya tidak tahu apa-apa tentang itu. (defensif)
SANTI
(membalikkan badan) Mimpi-mimpimu yang cuman sekelebat itu adalah bukti yang sudah lebih dari cukup bagi aku. Bahwa kamu memang orang yang aku cari.
ARIF
Tapi...Saya masih tetap tidak mengingat apa-apa. Saya hanya tau semua itu dari cerita kamu. Saya ingin tahu semuanya.
SANTI
(Tersenyum) persis seperti yang aku lakukan ketika kamu terus bercerita tentang masa lalu dan aku tak ingat apapun
ARIF
Nah. Nggak enak sama sekali kan?
SANTI
Iya. Aku tahu.
ARIF
Itu yang aku rasakan sekarang. Karena aku hidup di masa ini. Aku tak tahu masa laluku dan masa depanku. Aku sangat khawatir dengan Papamu yang tak suka dengan aku, aku khawatir dengan pekerjaanku..
SANTI
(Tersenyum) dengerin aku Arif, Moses, Warman, siapapun namamu selama hidup di bumi...yang kamu khawatirkan sekarang itu, semuanya hanyalah atribut duniawi. Ketika kamu lahir kembali, kekhawatiran itu akan menjadi percuma, karena kau tak akan membawanya ke kehidupan selanjutnya.
ARIF
(Menghela napas) kadang-kadang aku berpikir kamu itu cuman ilusi yang dikirim Tuhan buat melemahkan aku.
SANTI
Ha ha ha ha ha.. aku ini nyata. Sama kayak kamu.
ARIF
Semoga saja. Semoga kali ini, kita punya waktu cukup lama untuk bersama
SANTI
(Tersenyum) Semoga.
FADE-OUT
EXT. KAMAR HOTEL – PAGI HARI
Pintu kamar hotel digedor. Arif dan Santi terbangun. Setelah merapikan diri, Arif berjalan ke pintu kamar dan membukanya. Alangkah kagetnya Arif ketika mendapati Pak Effendy berada di balik pintu. Ia tak sendirian. Di belakangnya banyak kilasan lampu kamera wartawan yang berjubel mencari berita panas. Arif tak sempat menyembunyikan wajahnya lagi
EFFENDY
Kamu. Wartawan. Bajingan! (Memukul muka Arif)
ARIF
Pak, Saya bisa jelaskan ini semua!
EFFENDY
Pergi kamu dari sini! Jauh jauh dari anak saya! Bedebah!
ARIF
Tapi Pak..!
Arif ditarik menjauh oleh aparat. Santi terperangah kaget. Kerumunan wartawan terpecah, ada yang terus merangsek ke kamar, ada yang mengikuti Arif. Arif dan Santi tak sempat berkata apa apa lagi.
CUT-TO. RUMAH SANTI
Telepon berdering. Santi berlari hendak mengangkat telepon, namun dihadang oleh ayahnya.
CUT-TO KANTOR ARIF
Telepon diangkat. Begitu yang terdengar adalah suara Effendy, Arif sudah tahu tidak mungkin dapat berbicara dengan Santi.
CUT-TO. RUANG PIMPINAN REDAKSI
Selembar kertas putih dibubuhi beberapa tanda tangan diletakkan rapi di meja. Atasan Arif duduk di kursinya dengan posisi santai. Arif duduk di seberang mejanya dengan kepala tertunduk.
PEMIMPIN REDAKSI
Ini tidak mudah bagi saya, Arif. Selama ini prestasimu bagus sekali di antara anak-anak yang lain
ARIF
....Jika memang Bapak sudah yakin, saya hanya meyakini bahwa ini adalah konsekuensi yang harus saya terima
PEMIMPIN REDAKSI
(Menghela Napas Panjang) Saya sendiri tak percaya dengan yang dibicarakan majalah-majalah itu. Kamu tak pernah seperti itu sebelumnya
ARIF
Ya, Pak. Anda benar. Saya memang belum pernah seperti itu sebelum ini. Saya tak pernah mencintai orang lain sampai seperti itu.
PEMIMPIN REDAKSI
Saya sangat menyesal harus memberhentikan kamu, Arif. Ini semua murni karena tekanan dari pihak atasan. Tabloid kita oplah-nya menurun drastis minggu ini karena skandalmu. Saya tak bisa tutup mata tentang hal itu..
ARIF
Saya mengerti. Terima kasih atas bantuannya selama ini, Pak. (Bangkit dari kursi)
PEMIMPIN REDAKSI
Arif. Satu pertanyaan lagi. Apa yang membuat kamu begitu sayang dengan penyanyi itu?
ARIF
(berhenti, berbalik menghadap pemimpin redaksi) ....Bapak percaya tentang kehidupan abadi? (Menutup pintu)
EXT. KANTOR POS – MALAM HARI
Arif meminjam telepon di kantor pos. Hari sudah hampir tengah malam. Di luar hujan deras. Ia memutar nomor telepon yang sudah begitu lekat di ingatannya. Menunggu sebentar. Kemudian telepon diangkat.
SANTI
(Berbisik) Halo?
ARIF
Halo. Santi!
SANTI
(Memekik pelan) Arif!
ARIF
Ssssh! Jangan keras-keras. Maaf aku menelepon semalam ini. Papamu...kamu...bagaimana kabarmu sejak saat itu?
SANTI
Aku baik-baik saja. Papa semakin seperti polisi saja. Siang malam ia tak mau melepaskan pengawasannya dariku. Dia sangat takut kamu akan membawa aku pergi. Dan memang sepertinya kamu menelepon untuk membawaku pergi.
ARIF
Bagaimana kamu tau?
SANTI
Aku mengenalmu ratusan kali sebelum ini, sayang.
ARIF
Ya ampun. Aku selalu lupa tentang hal itu. Mmmm..Hei, jadi kamu mau kalau kuajak pergi?
SANTI
Ya. Tentu saja! Kemanapun, aku ikut!
ARIF
Baik. Jadi aku sekarang berada di kantor pos dekat rumahmu.
SANTI
Oya? Tidak terlalu jauh dari sini.
ARIF
Masalahnya, aku kebetulan nggak bawa payung. Jadi, kira-kira kalau sementara hujan-hujanan kamu nggak papa?
SANTI
Nggak papa.
ARIF
Oke. Setelah ini aku jemput kamu di jalan raya dekat rumahmu. Tempat biasanya kita duduk-duduk lihat mobil lewat.
SANTI
Ya. Aku siap-siap dulu ya sekarang
ARIF
Oke. Jangan sampai Papamu bangun. Sampai ketemu sepuluh menit lagi
SANTI
Kamu juga (menutup telepon)
Arif langsung berlari ke luar. Menerjang hujan deras mengarah ke rumah Santi. Ia sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan Santi setelah sekian lama tak pernah bisa bertemu.
EXT. RUMAH SANTI
Perlahan lahan Santi menutup pintu rumahnya. Ia sempat mengalami kesulitan kecil menemukan kunci. Ternyata ayahnya yang menyembunyikannya. Harapan akan segera bertemu dengan pujaan hatinya menyalakan kembali semangatnya. Ia meninggalkan sepucuk surat di tempat tidurnya yang ditujukan untuk ayahnya. Ia mengambil payung dan membukanya, kemudian berjalan pelan menyusuri trotoar sepanjang jalan rumahnya. Malam itu dingin sekali.
EXT. JALAN RAYA
Dingin sekali, dan ramai pula jalan raya ini, pikir Arif, seraya menyusuri trotoar di deretan kantor pos.
ARIF (V.O)
Aku mau lebih banyak belajar untuk memiliki hidup yang stabil. Aku mau belajar menjadi pasangan yang baik bagi Santi, bukan membawanya lari seperti ini. Aku mau menikahinya secara baik-baik, dan membangun sebuah keluarga bersamanya.
CUT-TO
SANTI (V.O)
Aku harus lebih toleran pada Arif. Ia belum ingat apa-apa dari kehidupan sebelumnya. Aku harus sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaannya yang kebingungan menyikapi kejadian belakangan ini. Wajar. Semua ini pasti terjadi terlalu cepat baginya.
CUT-TO.
Arif berbelok di tikungan jalan rumah Santi, dan melihatnya dari kejauhan. Arif tersenyum melihat kekasihnya itu dan mempercepat langkahnya.
CUT-TO.
Santi mendongak dan melihat sosok Arif yang berjalan cepat di seberang jalan kejauhan. Wajahnya langsung berubah cerah seketika, dan Ia semakin mempercepat langkahnya. Semakin dekat, semakin cepat pula langkahnya. Akhirnya ia berlari menuju Arif. Karena senang bertemu kekasihnya, Santi tidak memperhatikan sekitar. Ia langsung menyeberang menuju pujaannya itu.
SANTI
Arif !
Air muka Arif berubah. Arif berlari lebih cepat. Santi tak mengerti kenapa wajah Arif berubah menjadi cemas ketika mereka bertemu dan seharusnya bahagia.
ARIF
SANTI, MINGGIRRR!!!
Lampu mobil menerangi jalan raya. Santi terkejut namun terlambat bereaksi. Arif melompat ke jalan raya untuk menyelamatkannya, tapi terlambat. Mobil menabrak Arif dan santi. Setelah itu semuanya gelap.
FADE OUT
INT. IL RISOTTO DI RISTORANTE – MALAM HARI
Alunan grand piano masih terdengar. Para waiter sudah mulai merapikan meja. Sebentar lagi restoran akan segera tutup.
DANU
Jadi kira-kira begitu cerita mereka.
KAYLA
.......Wow. (melirik tanda lahir di pergelangan tangan)
DANU
Ya, saya tahu. Wow.
KAYLA
Shhh!
DANU
Maaf?
KAYLA
Aku. Jangan panggil ‘saya’.
DANU
(Tersenyum)
KAYLA
Jadi...menurut teorimu ini...kamu adalah reinkarnasi dari si...Wartawan itu, siapa namanya?
DANU
Arif.
KAYLA
Iya, Arif. Dan aku adalah.....
DANU
Santi. Dan siapapun kamu sebelumnya.
KAYLA
Hmmm...teorimu itu perlu pembuktian, Mister.
DANU
(Tertawa kecil) Yaa..memang, saya seperti seorang psycho ya, Tiba tiba muncul lalu bilang seperti itu.
KAYLA
Erm....not completely, sih. But yes. Bener-bener cara yang nggak bagus buat PDKT ke cewek.
DANU
Ha ha ha. Oke, saya kalah.
KAYLA
Tapi serius deh, aku ngerasa udah kenal lamaaa banget sama kamu. Dan aku juga sering mengalami kilasan-kilasan ingatan yang kayak bukan punyaku sendiri gitu. Isinya muka orang lain semua. Dan aku juga berperan jadi orang lain disitu.
DANU
(tersenyum) saya nggak memaksa kamu untuk langsung percaya. Mungkin butuh waktu. Yaaa...sambil jalan ajalah.
KAYLA
Ya. Saya...Mmm...saya mau kok ambil resiko kamu boongin. Karena, well, anggep aja kali ini saya yang amnesia. Hehehe.
DANU
Kali ini saya yang jagain kamu. Kali ini saya yang ceritain gimana masa lalu kita dulu. Do u think we’re crazy anyway?
KAYLA
Ha ha ha ha ha...yes we are!!
DANU
Great, then let’s do this!
Danu bangkit dari kursi, menggamit tangan Kayla, mengangguk kepada waiter di dekat pintu keluar, dan bersenda gurau dengan Kayla. Mereka semakin menjauh dari kamera, dan akhirnya hilang tak terlihat lagi.