Saturday, December 7, 2013

99 Lubang di film 99 Cahaya Di Langit Eropa



2 hari yang lalu, saya secara tidak sengaja membaca review dan kutipan-kutipan naskah film 99 Cahaya di Langit Eropa via Dina @duaransel, salah satu traveler favorit saya. 99 Cahaya adalah film adaptasi dari novel/memoar Hanum Rais dan Rangga Almahendra, sepasang suami-istri muslim Indonesia yang hidup di Wina, Austria selama 3 tahun. Kalimat-kalimat yang dikutip Dina @duaransel cukup membuat saya heran dan penasaran. Heran karena tidak biasanya novel atau film Islami menggunakan sudut pandang bertanya. Nol. Netral. Kebanyakan cenderung reseptif terhadap doktrin, berpihak, atau malah menghakimi. Karena itu saya penasaran lalu nonton trailernya di youtube


Trailernya cukup dramatis dan menggugah. First impression: film ini berani 'bersuara'. Membongkar sejarah penyebaran Islam di Eropa, membuka lebar dialog dan kontradiksi seputar kehidupan pemeluk agama Islam di sana, sangat membumi dan subtle karena 99 Cahaya tidak seperti film religi kebanyakan yang sibuk menjejalkan berbagai kutipan ayat dan hadist ke dalam script. I like it.

Besoknya, berangkatlah saya ke Galeria XXI untuk nonton 99 Cahaya. Untuk ukuran bioskop di Bali yang relatif cukup mahal dan berpenduduk 90% Hindu, ternyata lumayan bank juga yang nonton, meski mayoritas berkerudung.

Selesai nonton, harus saya akui kalau saya lumayan kecewa. 99 Cahaya tidak semanis dan seberani trailernya. Banyak persoalan sexy yang dilempar, tapi tidak dituntaskan. Seperti Napoleon yang (katanya) masuk Islam dan membangun Arc de Triomphe lurus menghadap Ka'bah. Kenapa dia membangun itu semua menghadap Ka'bah? 

Atau kerudung Bunda Maria yang bertuliskan lafal laailaha'ilallah di Louvre. Why? Itu karya siapa? Apa maksud si pelukis membuat karya itu? 

Atau misalnya lagi, Hanum yang digambarkan tidak berjilbab, curious tentang Islam dan selalu bertanya, tapi tidak terlihat proses 'pencarian'nya. 

Menurut saya itu persoalan-persoalan menarik yang harusnya bisa dijawab ringkas tapi tuntas. Namun 99 Cahaya menurut saya bagaikan orang mancing yang melempar banyak umpan mahal ke laut, tapi ketika ditarik, ikannya gagal nyangkut.

Selain itu, secara teknis produksi film, banyak detail kecil terabaikan sehingga mengganggu kenyamanan saya dalam menonton. Misalnya:
  1. Pada scene Asye memakaikan kerudung ke Marion, pemeran Asye diberi wig kulit kepala supaya terlihat botak. Tapi saat di close-up, di dahi Asye ada lipatan wig yang kurang rapi sehingga kelihatan sekali itu makeup.
  2. Penyebutan nama Asye, Stefan dan Marion yang berubah-ubah. Kadang Asye, kadang Asya. Kadang Marion, kadang Mariong (pronounciation Perancis). Sedangkan Stefan yang (sepertinya) orang Jerman, harusnya namanya tetap dibaca [Stefan], tapi malah dilafalkan [Stefen]. Mana yang benar?
  3. Script film 99 Cahaya secara keseluruhan yang menurut saya ditulis oleh penulis buku, bukan scriptwriter film (saya belum check siapa yang menulis). Bahasanya indah, tapi sangat kaku, tidak luwes seperti sedang baca buku. Apalagi karena banyak menggunakan Bahasa Indonesia yang memang sangat berbeda antara written dan spoken language.
  4. Pemilihan pemeran yang (ceritanya) berasal dari latar belakang kebangsaan yang berbeda-beda, tapi ngobrolnya fulllll bahasa Indonesia demi memudahkan penonton memahami dialog. (Dewi Sandra orang Perancis, Alex Abbad orang India, Fatma orang Turki, Nino Fernandez orang Austria).
  5. Scene ketika Stefan dan Khan bertengkar di perpustakaan dan semua orang tetep santai aja, tidak terganggu sama sekali. Dude, it's a friggin' library. In Europe! Mungkin karena sutradaranya orang Indonesia jadi ribut-ribut di perpustakaan dianggap biasa saja.
  6. Saya ketawa ngakak pada scene Rangga ber-adzan di Menara Eiffel. Perancis adalah negara yang menjunjung tinggi sekularitas untuk mencegah diskriminasi antar golongan. Jangankan ber-adzan, pakai kalung salib saja bisa kena tilang polisi. Ber-adzan di atas Menara Eiffel bisa dianggap perbuatan yang tidak sopan, melanggar hukum, dan meresahkan masyarakat. Kalau dalam kehidupan nyata mungkin ceritanya Rangga sudah diringkus polisi.
  7. Is there any living-straight-husband in this world that calls his wife 'say' ?
  8. Kemunculan Fatin di ending film itu sangat-sangat-sangat mengganggu dan tidak relevan sama sekali dengan cerita.
  9. Potongan-potongan adegan di dalam trailer itu ternyata tidak semuanya ada di film 99 Cahaya PART 1, karena ternyata nanti akan ada PART 2-nya dan mungkin malah PART 3. Setahu saya, apa yang ditampilkan di trailer, itulah yang seharusnya dinikmati oleh penonton film yang bersangkutan. Adegan di part berikutnya, taruh di trailer film part berikutnya juga dong.
Sebelum daftar dosa ini semakin panjang, saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya menurut saya potensi film ini lumayan besar. Idenya bagus dan pendukungnya pun banyak, baik dari segi sponsor dan artis. Sayang sekali penggarapannya belum smooth. Gangguan pada detail-detail kecil seperti 9 poin di atas membuat lubang besar dalam penilaian saya sebagai penonton. Jika harus memberikan nilai, maka menurut saya 99 Cahaya cukup mendapat angka 5.

Semoga part 2-nya lebih baik daripada yang pertama. :)

Monday, April 15, 2013

Bali Motorcycle Diaries

Setiap hari Minggu, saya suka memberi kejutan kecil untuk diri saya sendiri: Mendatangi pantai yang belum pernah saya kunjungi. Karena kebetulan beberapa bulan ini saya tinggal di tempat yang memiliki puluhan  pantai bagus, rutinitas itu selalu terakomodir dengan baik. Lama kelamaan, kebiasaan ini agak bergeser. Saya mulai berimprovisasi. Sawah, gunung, apa saja. Kadang malah tempat yang saya kunjungi sama sekali bukan obyek wisata, namun punya nilai rekreasi bagi saya. 

Minggu lalu, saya dan seorang teman membuat rencana jalan-jalan low budget yang sederhana. Tentu saja naik motor seperti biasa. Rencananya adalah, berangkat pagi ke Bedugul, kemudian lanjut sebentar ke air terjun di Munduk. Rencana itu kami buat hanya berdasarkan 'denger-denger' bahwa 'katanya' letak Munduk tidak jauh dari Bedugul. Tak lebih dari survey ringan di tripadvisor. Kami berencana berangkat jam 8 pagi, sampai Denpasar lagi jam 4 sore. Ternyata itinerary-nya meleset jauh!

Jagoan saya di tikungan Strawberry Hills, Bedugul.
Photo by: Gigih RC

Kami berangkat jam 8.30 pagi. 30 menit terlambat karena saya bangun kesiangan. Mengambil rute biasa lewat Ubung - Sempidi - Mengwi, kami menuju Bedugul. Kami sampai di Bedugul 1,5 jam setelahnya dengan perut meraung-raung minta makan. Bodohnya, waktu berangkat tadi kami lupa belum ambil cash di ATM. Dan di Bedugul tidak ada ATM BCA. Great. Untungnya masih ada ATM Mandiri, BNI dan BRI. Dengan bersungut-sungut kami merelakan lima ribu rupiah ekstra untuk biaya penarikan beda bank, kemudian cari warung. Ada satu warteg Ponorogo nan imut di arah ke Bedugul Botanic Garden yang ternyata harganya agak di atas level warteg tapi enak dan porsinya banyak. Selesai makan, kami ke Pura Ulun Danu Beratan.

Pura Ulun Danu Beratan, Bedugul
Photo by : Gigih RC

Kami membayar tiket masuk 10.000 rupiah per orang (domestik - dewasa). Tak banyak yang berubah dari Ulun Danu Beratan sejak terakhir kali saya kesini waktu study tour SMP. Paling-paling taman depannya yang makin rapi, dihapuskannya syarat memakai sarung / kamen, dan sudah tidak ada lagi parasailing di danau. Saya ingat betul untuk yang terakhir itu. Karena waktu SMP dulu saya pernah parasailing di sini dan nggak bisa turun sampai harus nambah dua putaran hingga akhirnya bisa turun.

Danau Beratan
Photo by : Gigih RC
Menurut saya, tidak perlu terlalu lama mengunjungi situs ini. 1 jam maksimal. Kecuali anda berminat  mengeksplor danau naik perahu jukung (Rp.60.000/jam), main sepeda air berbentuk bebek dengan pacar anda (Rp.35.000/jam), atau mungkin ngebut naik speedboat (Rp.125.000/jam). Jangan salah. Saya suka tempat ini. Memandangi garis-garis yang meliuk di gunung yang hijau dengan alas hamparan danau Beratan diselingi kabut tipis, menurut saya pemandangan itu magis dan peaceful. Di tepian itu semua, berdiri dengan tenangnya Pura Ulun Danu Beratan yang cantik dan bernilai historis tinggi. Mungkin lebih maksimal lagi kalau tidak ada puluhan turis lain dan belasan tukang foto langsung jadi yang berisik menawarkan dagangannya. By the way, turis lokal di sini mayoritas masih tipe-tipe "Hi-mister-you-are-a-bule-so-can-I-take-a-picture-with-you-now-?"

Ladang Strawberry, Bedugul.
Photo by : Gigih RC
Sebelum kami melanjutkan ke Munduk, kami membeli dua pack strawberry. 20% karena memang pengen, 80% laper mata karena sepanjang jalan banyak ladang dan pedagang strawberry. Manis dan murah, 5.000 rupiah per pack dengan isi sekitar 20-25 buah. Setelah itu kami mengambil rute Bedugul-Singaraja menuju Munduk. Kami melewati Danau Bayan yang menjadi sangat cantik karena view-nya bisa dinikmati secara diagonal (yes. Diagonal) dari jalan raya yang menanjak curam. Saya sempat bingung membagi perhatian antara nyetir, melihat ke bawah (ke danau), dan menghindari monyet-monyet yang berkeliaran di sepanjang jalan di atas danau Bayan.

Rute setelah Danau Bayan berliku-liku curam dan tajam ke atas selama 30 menit, setelah itu menurun. Namun sepanjang jalan kami tidak melihat street sign yang menunjuk ke Munduk. Yang kami lihat cuma arah ke Gitgit. Tak seberapa jauh kemudian ada plang bertuliskan Gitgit Twin Waterfall dan saya langsung minggir. Teman saya bingung. Katanya ke Munduk kok berhentinya di Gitgit? Hmmm...yaaa...Gitgit lebih terkenal, jadi harusnya lebih bagus. Dan lagi lumayan jauh dari Denpasar. Jadi mumpung lewat, kenapa nggak sekalian mampir? (jawaban yang sangat nggak konsisten. Saya tahu). Jadilah kami turun berjalan kaki menuju Gitgit. Yay!

Gitgit Waterfall, Singaraja.

Turquoise water, Gitgit Waterfall, Singaraja.

Untuk mencapai Gitgit, dibutuhkan jalan kaki selama kira-kira 20 menit. Akses menuju air terjun relatif mudah dan terpelihara dengan sangat baik. Harga tiket masuk 5.000 rupiah per orang. Sangat murah. Di sepanjang rute akan banyak anak kecil menjajakan souvenir dan juga beberapa 'pit stop' kalau-kalau capek berjalan. Uniknya, 'pit stop' ini juga menjual beraneka rempah-rempah seperti lada, ketumbar, cinnamon, dll yang dikemas rapi dalam plastik transparan. Di akhir rute, Anda akan bertemu persimpangan. Ke kiri, dua air terjun setinggi kira-kira 20 meter namun tidak terlalu lebar. Turun ke bawah, ada air terjun yang lebih lebar dan arusnya lebih besar. Air terjun Gitgit berwarna turquoise jernih, dikelilingi tebing batu bertekstur unik yang tidak dapat tercapture sempurna dengan media apapun kecuali mata telanjang. Setelah beberapa lama main air, kami melanjutkan perjalanan. Tadinya kami sudah akan pulang. Namun saya mengurungkan niat. Tanggung rasanya, sudah masuk Singaraja kok nggak ke Lovina? Jadi dari Gitgit kami lanjut deh ke Lovina. Sudah lupa sama Munduk. :p

Selepas Gitgit, kami melewati 2 atau 3 papan nama yang juga bertuliskan Gitgit Waterfall. Tidak perlu khawatir karena semua itu bersumber dari satu mata air, yang membedakan hanya view dan letak ketinggiannya. Yang Anda temui pertama dari arah Bedugul adalah yang tertinggi. Disambut hujan angin dan kabut, jas hujan kami tidak terlalu berfungsi. Namun betapa sayangnya kalau harus putar balik hanya karena hujan. Jalan teruuus!

Kami sampai di pantai Lovina jam setengah 3 sore. Hujan sudah berhenti. Sungguh kami kecewa karena ternyata Lovina hanyalah pantai sepi yang super kotor. Beberapa orang menawarkan wisata lumba-lumba di tengah laut seharga 60.000 rupiah per orang, tapi saya ragu karena setahu saya waktu yang tepat untuk dolphin tour adalah subuh-subuh, jelas bukan ashar-ashar. Setelah 20 menit meregangkan tulang punggung yang pegal di dermaga Lovina, kami memutuskan untuk pulang. Lewat mana?

Tulamben.

Iya, itu berarti kami mengambil rute memutar yang sama dengan 2 kali jarak rute pulang lewat Bedugul. Tapi namanya juga road trip. Nggak seru kan kalau rute pulang sama dengan rute berangkat. :D

Ketika melewati pusat kota Singaraja, saya cukup amazed karena ternyata kota ini tidak jauh berbeda dengan Mojokerto atau Solo. Cukup modern (ada Singaraja plaza, ada Carrefour), tertata rapi, dan gaya arsitekturnya lebih 'njawani', tidak banyak yang bergaya Bali. Setidaknya itulah kesan kami ketika melintasi downtown Singaraja.

Kami ngebut ke arah Amlapura karena kejar-kejaran dengan awan hitam yang gede banget.  Setelah beberapa lama melaju, ternyata ada sign Kintamani belok kanan. Pertama, saya belum pernah ke Singaraja sebelumnya, jadi masih buta jalan. Kedua, kami tidak membawa peta dan males buka GPS. Ketiga, berhubung teman saya sudah lama nggak keturutan ke Kintamani, akhirnya kami mengikuti sign itu. Batal pulang lewat Tulamben, belok kanan ke Kintamani!

yang baca posting ini pasti bete karena dari tadi itinerary-nya meleset semua dari rencana. :))

Singkat cerita, kami kalah kejar-kejaran dengan mendung, dan akhirnya kehujanan lagi. Jas hujan kembali tidak menjalankan fungsi yang semestinya. Tulang ekor mulai pegal, kami pun mulai bosan. Rute ini cenderung lurus dan menanjak. Tidak banyak yang bisa dilihat. Namun semakin tinggi, mata kembali segar karena memasuki hutan panjang yang menyerupai terowongan setengah terbuka. Hijau di mana-mana. Jurang juga di mana-mana sih. Tapi tidak securam rute Bedugul-Gitgit. Tak lama kemudian kami melihat kabut. Makin lama makin tebal. Entah kabutnya yang makin turun atau posisi kami yang semakin tinggi. Jarak pandang kami sempat cuma sekitar 3 meter. Lebih jauh dari itu tidak terlihat sama sekali, tertutup kabut tebal. Seperti anak kecil yang melihat salju untuk kali pertama (cuman ungkapan, padahal sampe umur segini juga belum pernah lihat salju), kami tak henti-hentinya berseru "wooooow" atau "wiiiiihhhhh" saking takjubnya.

Gunung Batur, Kintamani.
Photo by: Gigih RC

View Danau Batur dari Kebun Orang.
Photo by: Gigih RC

jam setengah 4 sore. Kami melipat jas hujan di Kintamani. Alarm jam makan otomatis (baca:perut) sudah kembali berbunyi. Setelah mengagumi pemandangan Gunung Batur dari pinggir jalan serta menghirup dalam-dalam udara segar, kami makan sebentar. Kemudian kembali berkelok-kelok turun ke Danau Batur. Biasanya, saya menikmati view danau dari lapangan parkir. Namun karena beberapa kali harus berurusan dengan ibu-ibu super agresif pedagang suvenir, kali ini saya memilih untuk memarkir motor di jalan kemudian masuk ke tepi danau melalui kebun orang. Eits, jangan buru-buru menyalahkan saya yang masuk ke kebun orang tanpa izin. Sebelum kami sampai situ, sudah ada dua mas-mas lain yang sedang asyik memancing di situ. Jadi kami nggak salah-salah amat, kan? :p

Awan hitam kembali mengancam. Kami bergegas karena malas pakai jas hujan lagi. Tapi apa daya. Belum juga sampai di Tegalalang, hujan sudah turun dengan derasnya. Kami cepat-cepat mengenakan jas hujan untuk ketiga kalinya. Baru 10 menit, hujan berhenti, jalanan kering. Bete, kami masukkan lagi jas hujan ke bagasi.
Pengrajin Dream Catcher, Tegalalang.
Photo by: Gigih RC

Terasiring di Tegalalang, Ubud.
Photo by : Gigih RC
Tegalalang selalu menjadi rute yang menyenangkan karena banyak pengrajin yang memajang berbagai macam barang dagangan mulai mebel, ukiran kayu, cermin, kerajinan bulu, dan berbagai handicraft lainnya. Kami juga menyempatkan berhenti sebentar di terasiring Tegalalang yang cantik untuk berfoto. Kebetulan saat itu padi yang ditanam sudah tumbuh lebat, rapi seperti karpet hijau.

Rute Perjalanan di atas Tissue
Photo by: Gigih RC
Setelah perjalanan yang panjang, kami melepas lelah dengan menghirup kopi di Ubud, tepatnya di beranda toko selai langganan, Confiture Michele, sambil mengobrol dengan Mbok Wayan, pengelola toko yang sangat ramah. Di sana, kami menertawakan road trip yang sama sekali tidak terencana ini. Ternyata membelah Bali bisa dilakukan tanpa harus menginap. Saya mengambil selembar tissue dan mencoba menggambar ulang rute yang kami lalui. Jauh juga ya ternyata, pikir kami.

Jam tangan menunjukkan pukul 8 malam sewaktu saya tiba di rumah. Setengah hari yang cukup melelahkan, tapi sangat menyenangkan! Kapan-kapan saya pengen road trip lagi ah. Hehehe.

Saturday, January 5, 2013

Terima Raport

Bagi saya, tahun 2012 adalah sebatang cokelat.

Bittersweet. 

Separuh tahun pertama, harus diakui, cukup rough buat saya. Tuhan memilihkan pelajaran yang tidak biasa kali itu. Butuh waktu bagi saya untuk bisa mencerna dan memahami apa yang hendak diajarkannya. 
Sekali lagi saya belajar bahwa manusia tidak pernah ada yang hitam dan putih. Manusia adalah abu-abu yang sempurna lebur jadi satu dari ribuan elemen warna yang menjadikan dirinya dia. Bahwa tak sedikitpun saya punya kuasa untuk menjadikan orang lain itu berlaku sesuai kehendak saya, dan tak seorangpun di semesta selain Tuhan punya wewenang absolut untuk menjudge orang lain tentang benar dan salah. Dulu sekali, seorang teman baik pernah mengajarkan bab abu-abu ini pada saya. Ternyata waktu itu saya masih terlalu hijau untuk memahami maksudnya. Ibarat bawang, yang waktu itu saya kupas ternyata barulah kulitnya.
Lalu apakah di tahun 2012 kemarin saya sudah mengupas bab ini hingga bagian intinya? Belum tentu. Dosen saya pernah mengajarkan, Communication is an ongoing process of learning and understanding. Proses pemaknaan terjadi terus menerus, sehingga apa yang kita pahami di hari ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Terus, sampai mati. Semoga.

Di tahun 2012 saya juga belajar untuk menaklukkan musuh terbesar manusia di bumi: diri mereka sendiri. Saya termasuk orang yang percaya bahwa di dalam diri setiap manusia ada seorang teman tanpa wujud yang sejati. Barangkali itu yang sering disebut hati nurani. Saya mengandaikan diskusi-diskusi dalam diri ini seperti percakapan antara Gollum dan Smeagol dalam film Lord of The Rings. Bukan pekerjaan mudah bagi seseorang untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Jangankan untuk orang lain, menjinakkan ego untuk kebaikan dirinya sendiri terkadang manusia tak mau. Seringkali, saya mengajak diri saya sendiri untuk berdiskusi tentang keputusan-keputusan besar yang mendesak, tentang mimpi-mimpi yang jauh, tentang pencapaian yang sudah kami menangkan, bertarung dengan dendam yang tak mau pergi, dan masih banyak lagi. Apakah hanya saya yang mengalami hal ini?

Separuh tahun terakhir, perlahan saya menemukan kembali nyali untuk berdiri. Saya temukan lagi passion yang sudah lama terkubur entah kemana: Berdagang dan Bahasa. 
Berdagang mengajarkan diri saya bahwa parameter kesuksesan tidak hanya melulu dari gaji dan jabatan. Bahwa kesuksesan tidak sama dengan kekayaan. Dulu, bekerja ibarat candu bagi saya. Lupa mandi. Lupa makan. Lupa tidur. Lupa kalau saya juga punya keluarga. Setelah berdagang, saya belajar bahwa sukses itu harus. Hidup cukup itu harus diusahakan. Namun happiness harus diletakkan di atas semua itu. Jangan pernah dinomorduakan. 
Saya selalu punya minat tinggi dalam belajar bahasa. Baik bahasa asing maupun bahasa lokal. Menurut saya, bahasa adalah penemuan manusia yang paling jenius. Bahasa membuktikan bahwa manusia tidak sanggup hidup sendirian. Manusia butuh berkomunikasi dengan yang lain. Bahasa juga memungkinkan manusia mengeksplor lebih dalam suatu kultur di belahan bumi yang lain. Semakin banyak bahasa yang saya pelajari, semakin saya merasa kecil, dan semakin saya merasa Tuhan itu kaya.
Enam bulan terakhir, saya memutuskan menggunakan hasil berdagang saya untuk serius mempelajari Bahasa Perancis, salah satu bahasa yang (katanya) paling sulit di dunia. Waktu itu motivasi saya hanya satu: sejak duduk di bangku SMP saya ingin bisa berbicara Bahasa Perancis karena (katanya) orang Perancis tidak mau berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Besok-besok kalau ke Perancis biar bisa ngomong sama orang Perancisnya, begitu pikir saya. Di luar dugaan, yang saya dapat bukan hanya kemampuan berbahasa, namun saya belajar untuk kembali berani bermimpi, dan kembali berani untuk konsekuen mewujudkan semua mimpi saya. Belajar bahasa Perancis, menurut saya, adalah pencapaian tertinggi saya di tahun 2012. 

Saya menutup 2012 dengan sebuah keputusan besar: Kembali ke Bali.
Mengapa Bali lagi? tanya seorang teman. 

Seperti yang mungkin sudah anda baca di beberapa posting sebelum ini, Bali adalah melting pot, tempat puluhan kultur menyublim jadi satu dalam heterogenitas yang toleran dan guyub. Setelah semua yang saya alami di 2012, saya rasa Bali adalah landasan pacu yang ideal untuk startover dan mewujudkan kembali semua mimpi saya. Tidak ada excuse untuk menyerah kali ini. Apapun itu.

Mungkin apa yang dikatakan orang itu ada benarnya. Sekali seseorang memutuskan untuk hidup di Bali, suatu saat pasti akan kembali lagi ke Bali. Whatever it is, I simply fell in love with this island, maybe that's why.

Kemudian datanglah tahun 2013. Ternyata saya lolos dari ramalan suku Maya. Hahaha.
Selamat tahun baru, teman-teman. Semoga raport kita tahun ini lebih baik daripada tahun 2012 supaya bisa naik kelas. :)

Cafe Havana, Ubud, 05 Januari 2013.
--Gigih.





Tuesday, September 20, 2011

Marius Terbang




Namanya Marius Bernardus Mabur.

Postur tubuhnya yang tinggi besar sering membuat orang tidak menyangka kalau umurnya baru 16 tahun.

Marius suka sekali basket. Ketika ditawari oleh gurunya untuk serius bermain basket untuk tim SMA, Marius menyambutnya dengan sukacita.

Marius tak pernah merasakan listrik di tempat tinggalnya. Namun semangat Marius untuk belajar basket tak pernah sekalipun surut. Puluhan kilometer ditempuhnya dari pedalaman gunung untuk bersekolah. Terkadang tanpa alas kaki karena sepatunya jebol. Berkali-kali Marius harus menjahit sepatunya, karena hampir tidak mungkin rasanya menemukan sepatu basket ukuran 47 di Papua. Kalaupun ada harganya hanya membuat Marius meringis miris saking mahalnya.

Hari itu coach memberi kabar, Marius terpilih untuk berangkat ke Surabaya mengikuti camp basket untuk pelajar SMA selama sepuluh hari di Surabaya. Nantinya dari dua ratus peserta akan dipilih dua belas orang terbaik yang akan dikirim ke Seattle, Amerika Serikat. Marius senang bukan kepalang. Ke Surabaya! Ke Jawa! Bisa cari sepatu baru! begitu pikirnya.

Bersama enam wakil Papua yang lain, Marius mengikuti camp dengan tekun. Tidak seperti yang lainnya, Marius lebih banyak diam. Ketika semua campers dari Jawa makan bersama, Marius lebih memilih makan sendiri di pojok. Ketika anak-anak mengajaknya bercanda, Marius tersenyum malu-malu. Ketika yang lain menirukan logatnya yang tidak biasa, Marius juga tersenyum. Ketika beberapa yang cukup berani menyorakinya "Oi! Papua!", Marius masih saja tersenyum. Beberapa bahkan meledek namanya. Mabur dalam bahasa jawa artinya terbang. Marius Bernardus terbang. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Marius tetap tersenyum lugu bersama mereka. Memamerkan deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulitnya yang legam.

Masing-masing campers mendapatkan sepasang sepatu basket baru. Marius harus menunggu lama karena ukuran 47 cukup jarang dijual. Beberapa kali terlalu sempit. Senyum. Kurang satu nomor. Senyum. Kurang dua nomor. Kecewa, tapi tetap senyum. Terlalu longgar, masih juga Marius tersenyum sabar.

Di hari kedelapan, saya kebagian tugas membagikan sepatu untuk campers yang belum mendapat sepatu. Semua berebut. Semua ingin dapat model terbaru. Tidak mau model lama. Marius sabar berbaris menunggu giliran. Akhirnya, Ia datang dengan wajah penuh harap. Saya bukakan kotak sepatunya. Hati saya mencelos tak enak. Model lama keluaran tahun lalu. Model baru tidak ada yang ukuran 47. Marius mencoba, dan tiga detik kemudian wajah itu berseri cerah, "Kakak! Ini pas sekali, kakak! Saya suka sekali ini Kakak! Terima kasih banyak!", lalu Ia menghambur dengan wajah senang kembali ke lapangan. Saya mengawasinya dari belakang. Mata saya panas. Pandangan saya buram.

Farewell Dinner
.
Hari terakhir. Hari pengumuman duabelas besar campers yang berangkat ke Amerika Serikat.
Semua anak sudah memakai sepatu barunya. Marius makan bersama pelatih dan rombongan dari Papua yang lain. Marius tidak tersenyum. Wajahnya tegang. Bagaimana tidak, hanya dia satu-satunya perwakilan Papua yang lolos hingga ke tahap seleksi terakhir ini. Yang lain sudah gugur di 100 besar dan 50 besar. Berkali-kali Marius membetulkan letak kalung salib yang melingkar di lehernya. Berharap sebuah keajaiban kecil terjadi.

Komisioner liga basket mulai memanggil nama.
Satu per satu.

Medan.

Jawa Barat.

Jawa Timur.

DKI Jakarta.

Jawa Timur lagi.

Deretan nama itu mulai menipis. Nama-nama raksasa yang nantinya menjadi kebanggaan sekolah. Kebanggaan daerah asal. Satu per satu naik ke panggung. Ada yang loncat kegirangan. Ada yang berpelukan. Marius tersenyum gugup. Ikut bertepuk tangan setiap nama berikutnya dipanggil. Sudah nama kesebelas. Bukan namanya. Marius mulai melepas harapan.

Kemudian suara itu memanggil: "Marius Bernardus Mabur, Papua!"

Seisi atrium itu meledak gegap gempita. Semua orang berhamburan memelukinya. Mengguncang-guncang bahunya. Coach tersenyum bangga. Haru. Marius bingung. Perlu beberapa detik bagi Marius untuk menyadari komisioner benar-benar menyebut namanya barusan.

AMERIKA SERIKAT.

Marius menutup mukanya. Air matanya leleh tak bisa ditahan, seperti keju dibakar. Perlahan, Ia berjalan menuju panggung. Semua orang menepuk pundaknya. Bersorak. Kilasan lampu kamera wartawan berkelap-kelip menimpa wajahnya. Marius menjadi bintang malam itu.

Namanya Marius Bernardus Mabur.

Ejekan teman-temannya menjadi kenyataan.
Marius benar-benar telah terbang.


Saturday, September 10, 2011

Infinity



Iseng-iseng bongkar file lama, nemu tugas UTS mata kuliah Penulisan Naskah film, jaman masih kuliah sekitar tahun 2009. Perkiraan durasi kalau divisualisasikan : 15 menit.

Naskah saya biarkan sesuai aslinya ketika ditulis.

Enjoy!


INFINITY

MUSIK LATAR: Alunan Grand Piano

Background hitam, muncul tulisan “Gigih Rahmatika Presents”

Denting alat makan diselingi suara beberapa orang bercakap-cakap di restoran mewah.

Background hitam CREDIT TITLE

INT. IL RISOTTO DI RISTORANTE - MALAM

Di salah satu meja duduklah seorang laki-laki berbadan tinggi dan perempuan mungil yang akan kita kenal sebagai Danu dan Kayla.

KAYLA

Makasih ya buat makan malamnya. Saya suka suasananya. Enak buat ngobrol.

DANU

Sama-sama, Kayla. Saya juga seneng bisa mampirin kamu kesini. Maaf ya, warungnya masih berantakan.

KAYLA

Ha ha ha. Kamu bisa aja kalo merendah. Iya nih, “Warung”-mu ini kurang asik soalnya nggak jual nasi uduk.

DANU

(Tersenyum)

Nasi uduk lauk Lasagna? He he he.

KAYLA

Ha ha ha. By the way, itu tato kamu bagus juga, ya.

DANU

Oh, ini? (Menunjukkan tato di balik telinga kirinya)

KAYLA

Kenapa harus angka delapan?

DANU

Ini bukan angka delapan. Ini lambang infinite. Keabadian. Bentuknya kayak obat nyamuk ya? Ha ha ha ha.

KAYLA

(Tertawa kecil) ha ha ha. Ya ampun, tahu nggak sih, Danu? Beberapa kali ketemu kamu, Saya selalu ngerasa sudah kenal kamu lamaaaa sekali. Padahal baru juga bulan lalu kita dikenalin sama Irwin.

DANU

(Mendongak melihat mata Kayla)

.....Kamu ngerasa gitu?

KAYLA (C.U)

(Menyibakkan rambut, terlihat tanda lahir di pergelangan tangan)

Iya. Silly, ya?

DANU

(Terdiam sejenak melihat tanda lahir di tangan Kayla)Enggak. Bagi saya itu nggak silly sama sekali.

KAYLA

O ya? Kenapa gitu?

DANU

....Kamu percaya reinkarnasi?

CREDIT TITLE BERAKHIR DENGAN PENYEBUTAN NAMA SUTRADARA DAN MAIN TITLE.

FADE IN TO.

EXT. RUMAH SANTI

Nampak sebuah rumah kuno yang cukup besar, dengan teras berbentuk bundar dan mobil Mercedes Benz kuno diparkir di halaman. Insert text tahun 1970. BCU sosok punggung seorang pria mengetuk pintu rumah. Di balik telinganya terdapat tato berbentuk infinity.

CUT-TO

BCU angle kamera memperlihatkan pergelangan tangan seorang wanita yang memakai gelang dan memiliki tanda lahir. Tangan itu membuka pintu rumah dari dalam

SANTI

(Membuka pintu) Ya?

ARIF

Selamat siang, mbak Santi.

SANTI

Mas Arif dari tabloid ‘Berita Hangat’? yang tadi telepon saya?

ARIF

Betul sekali mbak. Bisa saya mewawancara mbak sekarang?

SANTI

Boleh. Silahkan masuk, Mas.

ARIF

Makasih, Mbak.

Arif masuk ke rumah Santi. Ketika melintas di depannya, Santi melihat sebuah tato berbentuk Infinity di belakang telinga kiri Arif. Santi sangat terkejut karena dia ingat betul pada kehidupannya yang sebelum ini. Ia tidak menyangka kekasih abadinya tiba-tiba muncul sebagai wartawan di kehidupannya kali ini.

ARIF

Mmmm.... Ada yang salah mbak?

SANTI

(Tersadar dari lamunan) Hah? Oh enggak, maaf saya melamun.

ARIF

Maaf ya mbak. Pasti mbak Santi nggak nyaman ya lihat tato saya? Banyak kok mbak yang seperti mbak Santi gitu.

SANTI

Oh, enggak mas. Nggak sama sekali. Malah saya suka sama tato itu. Artinya keabadian kan?

ARIF

Wow. Saya kagum. Mbak Santi tau banyak juga ya?

SANTI

Panggil saya Santi aja. Nggak usah pakai Mbak.

ARIF

Oke, Santi. Bisa saya mulai interviewnya sekarang?

SANTI

Boleh.

ARIF

Oke, Santi. (Mengeluarkan Tape recorder dan notes) Jadi album yang baru anda rilis ini sebetulnya bercerita tentang apa sih?

SANTI

Album saya yang baru ini banyak bercerita tentang kehidupan dan pencarian seorang perempuan atas cintanya.

ARIF

Pencarian yang bagaimana maksud anda?

SANTI

Kamu.

ARIF

Maaf?

SANTI

Jangan panggil saya dengan sebutan ‘anda’ dong. Terlalu formal.

ARIF

Oh. Oke. Mmm.... (Salah tingkah) Pencarian yang bagaimana maksud..kamu?

SANTI

(Menyulut rokok, menghisap, dan mengepulkan asap perlahan) Saya percaya bahwa setiap orang punya yang namanya kekasih abadi. Bahwa setiap pasangan selalu dilahirkan kembali ke dunia dan akhirnya menemukan satu sama lain.

ARIF

Seperti kisah Adam dan Hawa? (sambil menulis di notes)

SANTI

Ya. Seperti cerita mereka.

ARIF

Jadi kamu percaya pada kelahiran kembali?

SANTI

(menaikkan tangan yang memegang rokok sehingga tanda lahirnya terlihat) ya. Saya percaya. Kamu percaya?

CUT TO: sekelebat potongan memori sepasang wajah lain yang memiliki tanda lahir sama.

CUT BACK: Kembali ke setting ruang tamu Santi.

ARIF

(Tersadar) Hah?! Saya...Saya nggak tau.

SANTI

Maaf. Saya terlalu serius ya? Sebentar, saya ambilkan minuman. (Berdiri mengambil minuman di dapur)

ARIF

Hahah. Nggak juga. Huff...(menghela nafas)

SANTI

(kembali duduk)Ini sirupnya. Diminum dulu.

ARIF

Makasih. (Minum) Saya tertarik sekali dengan pernyataan kamu barusan. Lalu, kalau yang kamu bilang itu bener, siapa kamu di kehidupanmu sebelum ini?

SANTI

Kadang kita sama sekali nggak bisa ingat siapa diri kita di kehidupan yang lalu. Tapi kadang itu bisa lebih jelas dari ingatan kita di masa ini.

ARIF

Jadi kamu nggak inget?

SANTI

saya inget. Di kehidupan sebelum ini, saya anak keluarga priyayi di Solo. Tahun 1930an.

ARIF
........(Diam)

SANTI

Menurutmu saya bohong nggak?

ARIF

Saya nggak tau harus percaya atau enggak. Lalu,siapa ‘kekasih’ yang kamu cari itu?

SANTI

Kalau sekarang, saya nggak tau. Saya belum menemukan dia.

ARIF

Lalu gimana cara kalian menemukan satu sama lain?

SANTI

Nggak tau kenapa, saat bereinkarnasi, kami selalu membawa tanda di tubuh kami (memperlihatkan pergelangan tangan) Pada akhirnya satu dari kami atau dua-duanya, cepat atau lambat nemuin satu sama lain.

ARIF

Itu tanda kamu? (mengedikkan kepala)

SANTI

Yap.

ARIF

Dan, tanda yang dibawa..mmm..’pacar’ kamu ini?

SANTI

(Tersenyum) biasanya tato berbentuk infinity di belakang telinga kiri.

ARIF

.....Wow. Saya juga tidak ingat bagaimana saya bisa punya tato ini(meraba tatonya)

SANTI

Ya. Itulah kenapa. Wow.

ARIF

Jadi...Mmmm (salah tingkah) apa itu..Mm...berarti..saya..?

SANTI

Entahlah. Saya juga tidak mau keburu senang dulu. Tapi, kamu percaya apa yang saya katakan barusan?

ARIF

Tentang reinkarnasi dan sebagainya itu tadi?

SANTI

(mengangguk)

ARIF

Saya...mmmm....tidak tahu. Kita baru pertama kali bertemu. Saya mengenal kamu lewat televisi dan majalah.

SANTI

(terkejut) wah! Kali ini kamu yang tidak mengingat saya! Pasti barusan saya bikin kamu ketakutan!

ARIF

Mmmm...tidak juga...(mengambil tape recorder, mematikannya) saya..sering mengalami mimpi-mimpi aneh.

SANTI

Itu memori!

ARIF

Saya nggak tahu juga.

SANTI

(Memegang tangan Arif) Kamu nggak perlu langsung percaya. Kamu cuman perlu mencari memorimu itu dulu. (Tersenyum)

ARIF

Ya...Mungkin. (ikut tersenyum)

CUT-TO: ARIF dan SANTI bersepeda, berboncengan di alun-alun kota. Santi mengenggam tangkai balon gas, tangan kanannya ditautkan di pinggang Arif.

MUSIK LATAR : lagu tahun 70an dengan irama ceria

CUT-TO: Santi menyuap es krim kepada Arif, lalu menyurukkan es krim ke mulut Arif hingga mulut Arif kotor terkena es krim. Mereka tertawa-tawa.

CUT-TO : Santi tidur bersandar di dada Arif, bercerita tentang apa yang diingatnya di kehidupan lampau.

EXT. RUMAH SANTI

Arif mengetuk rumah santi dengan antusias. Hari ini Santi berulang tahun.Ia membawa kue ulangtahun dan juga balon kesukaan Santi. Ternyata yang membukakan pintu seorang bapak-bapak.

EFFENDY

Ya? Bisa saya bantu?

ARIF

Oh. (agak kaget) Santi-nya ada, Pak?

EFFENDY

(Menilai dari atas sampai bawah) Anda siapa ya?

ARIF

Saya....saya Arif, temannya.

EFFENDY

Ada keperluan apa, kalau boleh tau?

ARIF

Saya cuman mau...Mmm...ngasih ini buat Santi, Pak.

EFFENDY

(Menerima) baik, nanti saya sampaikan.

ARIF

(Kecewa) Oh..baik. terima kasih, Pak.

Pintu ditutup di depan Arif.

EXT. KAMAR HOTEL

Asap rokok mengepul di kamar hotel. Arif dan Santi duduk berpelukan di tempat tidur.

ARIF

Sayang.

SANTI

Hmmmm?

ARIF

Papa kamu nggak suka sama saya, ya?

SANTI

Hmm. Papa cuman melakukan satu hal yang akan dilakukan oleh semua ayah kepada pacar anak gadisnya. Apalagi kamu wartawan.

ARIF

Apa yang salah dengan menjadi wartawan?

SANTI

Yang salah adalah kamu wartawan miskin di mata Papa.

ARIF

Tapi kan saya cuma berusaha untuk..

SANTI

Husssh...sudahlah, yang Papa nggak tau, kamu sama saya sudah pernah mengenal jauh sebelum Papa lahir. He he...

ARIF

Tidak. Saya tidak tahu apa-apa tentang itu. (defensif)

SANTI

(membalikkan badan) Mimpi-mimpimu yang cuman sekelebat itu adalah bukti yang sudah lebih dari cukup bagi aku. Bahwa kamu memang orang yang aku cari.

ARIF

Tapi...Saya masih tetap tidak mengingat apa-apa. Saya hanya tau semua itu dari cerita kamu. Saya ingin tahu semuanya.

SANTI

(Tersenyum) persis seperti yang aku lakukan ketika kamu terus bercerita tentang masa lalu dan aku tak ingat apapun

ARIF
Nah. Nggak enak sama sekali kan?

SANTI

Iya. Aku tahu.

ARIF

Itu yang aku rasakan sekarang. Karena aku hidup di masa ini. Aku tak tahu masa laluku dan masa depanku. Aku sangat khawatir dengan Papamu yang tak suka dengan aku, aku khawatir dengan pekerjaanku..

SANTI

(Tersenyum) dengerin aku Arif, Moses, Warman, siapapun namamu selama hidup di bumi...yang kamu khawatirkan sekarang itu, semuanya hanyalah atribut duniawi. Ketika kamu lahir kembali, kekhawatiran itu akan menjadi percuma, karena kau tak akan membawanya ke kehidupan selanjutnya.

ARIF

(Menghela napas) kadang-kadang aku berpikir kamu itu cuman ilusi yang dikirim Tuhan buat melemahkan aku.

SANTI

Ha ha ha ha ha.. aku ini nyata. Sama kayak kamu.

ARIF

Semoga saja. Semoga kali ini, kita punya waktu cukup lama untuk bersama

SANTI

(Tersenyum) Semoga.

FADE-OUT

EXT. KAMAR HOTEL – PAGI HARI

Pintu kamar hotel digedor. Arif dan Santi terbangun. Setelah merapikan diri, Arif berjalan ke pintu kamar dan membukanya. Alangkah kagetnya Arif ketika mendapati Pak Effendy berada di balik pintu. Ia tak sendirian. Di belakangnya banyak kilasan lampu kamera wartawan yang berjubel mencari berita panas. Arif tak sempat menyembunyikan wajahnya lagi

EFFENDY

Kamu. Wartawan. Bajingan! (Memukul muka Arif)

ARIF

Pak, Saya bisa jelaskan ini semua!

EFFENDY

Pergi kamu dari sini! Jauh jauh dari anak saya! Bedebah!

ARIF

Tapi Pak..!

Arif ditarik menjauh oleh aparat. Santi terperangah kaget. Kerumunan wartawan terpecah, ada yang terus merangsek ke kamar, ada yang mengikuti Arif. Arif dan Santi tak sempat berkata apa apa lagi.

CUT-TO. RUMAH SANTI

Telepon berdering. Santi berlari hendak mengangkat telepon, namun dihadang oleh ayahnya.

CUT-TO KANTOR ARIF

Telepon diangkat. Begitu yang terdengar adalah suara Effendy, Arif sudah tahu tidak mungkin dapat berbicara dengan Santi.

CUT-TO. RUANG PIMPINAN REDAKSI

Selembar kertas putih dibubuhi beberapa tanda tangan diletakkan rapi di meja. Atasan Arif duduk di kursinya dengan posisi santai. Arif duduk di seberang mejanya dengan kepala tertunduk.

PEMIMPIN REDAKSI

Ini tidak mudah bagi saya, Arif. Selama ini prestasimu bagus sekali di antara anak-anak yang lain

ARIF

....Jika memang Bapak sudah yakin, saya hanya meyakini bahwa ini adalah konsekuensi yang harus saya terima

PEMIMPIN REDAKSI

(Menghela Napas Panjang) Saya sendiri tak percaya dengan yang dibicarakan majalah-majalah itu. Kamu tak pernah seperti itu sebelumnya

ARIF

Ya, Pak. Anda benar. Saya memang belum pernah seperti itu sebelum ini. Saya tak pernah mencintai orang lain sampai seperti itu.

PEMIMPIN REDAKSI

Saya sangat menyesal harus memberhentikan kamu, Arif. Ini semua murni karena tekanan dari pihak atasan. Tabloid kita oplah-nya menurun drastis minggu ini karena skandalmu. Saya tak bisa tutup mata tentang hal itu..

ARIF

Saya mengerti. Terima kasih atas bantuannya selama ini, Pak. (Bangkit dari kursi)

PEMIMPIN REDAKSI

Arif. Satu pertanyaan lagi. Apa yang membuat kamu begitu sayang dengan penyanyi itu?

ARIF

(berhenti, berbalik menghadap pemimpin redaksi) ....Bapak percaya tentang kehidupan abadi? (Menutup pintu)

EXT. KANTOR POS – MALAM HARI

Arif meminjam telepon di kantor pos. Hari sudah hampir tengah malam. Di luar hujan deras. Ia memutar nomor telepon yang sudah begitu lekat di ingatannya. Menunggu sebentar. Kemudian telepon diangkat.

SANTI

(Berbisik) Halo?

ARIF

Halo. Santi!

SANTI

(Memekik pelan) Arif!

ARIF

Ssssh! Jangan keras-keras. Maaf aku menelepon semalam ini. Papamu...kamu...bagaimana kabarmu sejak saat itu?

SANTI

Aku baik-baik saja. Papa semakin seperti polisi saja. Siang malam ia tak mau melepaskan pengawasannya dariku. Dia sangat takut kamu akan membawa aku pergi. Dan memang sepertinya kamu menelepon untuk membawaku pergi.

ARIF

Bagaimana kamu tau?

SANTI

Aku mengenalmu ratusan kali sebelum ini, sayang.

ARIF

Ya ampun. Aku selalu lupa tentang hal itu. Mmmm..Hei, jadi kamu mau kalau kuajak pergi?

SANTI

Ya. Tentu saja! Kemanapun, aku ikut!

ARIF

Baik. Jadi aku sekarang berada di kantor pos dekat rumahmu.

SANTI

Oya? Tidak terlalu jauh dari sini.

ARIF

Masalahnya, aku kebetulan nggak bawa payung. Jadi, kira-kira kalau sementara hujan-hujanan kamu nggak papa?

SANTI

Nggak papa.

ARIF

Oke. Setelah ini aku jemput kamu di jalan raya dekat rumahmu. Tempat biasanya kita duduk-duduk lihat mobil lewat.

SANTI

Ya. Aku siap-siap dulu ya sekarang

ARIF

Oke. Jangan sampai Papamu bangun. Sampai ketemu sepuluh menit lagi

SANTI

Kamu juga (menutup telepon)

Arif langsung berlari ke luar. Menerjang hujan deras mengarah ke rumah Santi. Ia sudah tak sabar lagi untuk bertemu dengan Santi setelah sekian lama tak pernah bisa bertemu.

EXT. RUMAH SANTI

Perlahan lahan Santi menutup pintu rumahnya. Ia sempat mengalami kesulitan kecil menemukan kunci. Ternyata ayahnya yang menyembunyikannya. Harapan akan segera bertemu dengan pujaan hatinya menyalakan kembali semangatnya. Ia meninggalkan sepucuk surat di tempat tidurnya yang ditujukan untuk ayahnya. Ia mengambil payung dan membukanya, kemudian berjalan pelan menyusuri trotoar sepanjang jalan rumahnya. Malam itu dingin sekali.

EXT. JALAN RAYA

Dingin sekali, dan ramai pula jalan raya ini, pikir Arif, seraya menyusuri trotoar di deretan kantor pos.

ARIF (V.O)

Aku mau lebih banyak belajar untuk memiliki hidup yang stabil. Aku mau belajar menjadi pasangan yang baik bagi Santi, bukan membawanya lari seperti ini. Aku mau menikahinya secara baik-baik, dan membangun sebuah keluarga bersamanya.

CUT-TO

SANTI (V.O)

Aku harus lebih toleran pada Arif. Ia belum ingat apa-apa dari kehidupan sebelumnya. Aku harus sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaannya yang kebingungan menyikapi kejadian belakangan ini. Wajar. Semua ini pasti terjadi terlalu cepat baginya.

CUT-TO.

Arif berbelok di tikungan jalan rumah Santi, dan melihatnya dari kejauhan. Arif tersenyum melihat kekasihnya itu dan mempercepat langkahnya.

CUT-TO.

Santi mendongak dan melihat sosok Arif yang berjalan cepat di seberang jalan kejauhan. Wajahnya langsung berubah cerah seketika, dan Ia semakin mempercepat langkahnya. Semakin dekat, semakin cepat pula langkahnya. Akhirnya ia berlari menuju Arif. Karena senang bertemu kekasihnya, Santi tidak memperhatikan sekitar. Ia langsung menyeberang menuju pujaannya itu.

SANTI

Arif !

Air muka Arif berubah. Arif berlari lebih cepat. Santi tak mengerti kenapa wajah Arif berubah menjadi cemas ketika mereka bertemu dan seharusnya bahagia.

ARIF

SANTI, MINGGIRRR!!!

Lampu mobil menerangi jalan raya. Santi terkejut namun terlambat bereaksi. Arif melompat ke jalan raya untuk menyelamatkannya, tapi terlambat. Mobil menabrak Arif dan santi. Setelah itu semuanya gelap.

FADE OUT

INT. IL RISOTTO DI RISTORANTE – MALAM HARI

Alunan grand piano masih terdengar. Para waiter sudah mulai merapikan meja. Sebentar lagi restoran akan segera tutup.

DANU

Jadi kira-kira begitu cerita mereka.

KAYLA

.......Wow. (melirik tanda lahir di pergelangan tangan)

DANU

Ya, saya tahu. Wow.

KAYLA

Shhh!

DANU

Maaf?

KAYLA

Aku. Jangan panggil ‘saya’.

DANU

(Tersenyum)

KAYLA

Jadi...menurut teorimu ini...kamu adalah reinkarnasi dari si...Wartawan itu, siapa namanya?

DANU

Arif.

KAYLA

Iya, Arif. Dan aku adalah.....

DANU

Santi. Dan siapapun kamu sebelumnya.

KAYLA

Hmmm...teorimu itu perlu pembuktian, Mister.

DANU

(Tertawa kecil) Yaa..memang, saya seperti seorang psycho ya, Tiba tiba muncul lalu bilang seperti itu.

KAYLA

Erm....not completely, sih. But yes. Bener-bener cara yang nggak bagus buat PDKT ke cewek.

DANU

Ha ha ha. Oke, saya kalah.

KAYLA

Tapi serius deh, aku ngerasa udah kenal lamaaa banget sama kamu. Dan aku juga sering mengalami kilasan-kilasan ingatan yang kayak bukan punyaku sendiri gitu. Isinya muka orang lain semua. Dan aku juga berperan jadi orang lain disitu.

DANU

(tersenyum) saya nggak memaksa kamu untuk langsung percaya. Mungkin butuh waktu. Yaaa...sambil jalan ajalah.

KAYLA

Ya. Saya...Mmm...saya mau kok ambil resiko kamu boongin. Karena, well, anggep aja kali ini saya yang amnesia. Hehehe.

DANU

Kali ini saya yang jagain kamu. Kali ini saya yang ceritain gimana masa lalu kita dulu. Do u think we’re crazy anyway?

KAYLA

Ha ha ha ha ha...yes we are!!

DANU

Great, then let’s do this!

Danu bangkit dari kursi, menggamit tangan Kayla, mengangguk kepada waiter di dekat pintu keluar, dan bersenda gurau dengan Kayla. Mereka semakin menjauh dari kamera, dan akhirnya hilang tak terlihat lagi.